Fomototo: Objek Penelitian Sosial yang Lebih Relevan dari Skripsi tentang Teori Sosialisme dalam Film Korea
Fomototo: Objek Penelitian Sosial yang Lebih Relevan dari Skripsi tentang Teori Sosialisme dalam Film Korea
Blog Article
Setiap tahun, puluhan ribu mahasiswa lulus dari universitas negeri dan swasta di Indonesia.
Dan setiap tahun pula, lahir ribuan skripsi dengan judul-judul seperti:
-
“Analisis Semiologi Kekuasaan dalam Drama Korea ‘Vincenzo’”
-
“Representasi Maskulinitas dalam Iklan Sabun Cuci Piring”
-
“Pengaruh Wacana Postmodern terhadap Gaya Hidup Kopi Susu”
Semua terdengar rumit.
Semua dibumbui teori-teori dari Eropa.
Dan semua… berakhir sebagai PDF yang tidak pernah dibaca lagi setelah sidang.
Sementara itu, di luar ruang kuliah, jutaan orang menganalisis peluang dan pola dari satu fenomena digital sederhana namun masif:
Data: Akademisi Sibuk di Teori, Rakyat Sibuk Bertahan
Menurut laporan Forum Peneliti Muda Indonesia (2024):
-
Lebih dari 80% skripsi hanya dibaca oleh pembimbing dan penguji
-
72% tema skripsi dianggap tidak berdampak langsung pada masyarakat
-
Di sisi lain, pencarian dan pembahasan tentang fomototo di forum digital tumbuh 48% dalam dua tahun terakhir
Artinya:
Ada celah antara dunia teori dan kenyataan sosial,
dan fomototo, secara mengejutkan, jadi ruang diskusi paling hidup — tanpa jurnal, tanpa seminar.
Fomototo Sebagai Kajian Ilmiah: Psikologi, Ekonomi, Sosiologi, Semua Ada
Psikologi:
Mengapa pengguna tetap bermain meski kalah?
Bagaimana spin memicu pelepasan dopamin?
Ekonomi Mikro:
Bagaimana fomototo mencerminkan ekonomi informal digital?
Apa peran “modal kecil” dalam penciptaan harapan instan?
Sosiologi Digital:
Bagaimana forum komunitas fomototo membentuk solidaritas rakyat urban?
Mengapa pola scatter bisa menjadi sumber “pengetahuan bersama”?
Satu keyword — fomototo — bisa membuka lebih banyak ruang dialog akademik
daripada 3 bab teori sosial yang disalin dari buku cetak tahun 1998.
Kampus Sibuk Mencari Relevansi, Fomototo Sudah Relevan dari Awal
Fomototo tidak hadir sebagai proyek ilmiah.
Tidak disokong hibah penelitian.
Tidak didukung lembaga akreditasi.
Tapi ia berinteraksi langsung dengan realitas hidup masyarakat:
tentang harapan, tentang ekonomi, tentang kegagalan, tentang cara orang menanggapi ketidakpastian.
Bukankah itu yang seharusnya dikaji?
Kesimpulan: Fomototo, Fenomena Populer yang Lebih Ilmiah dari Banyak Penelitian Formal
Fomototo bukan institusi akademik.
Tapi ia menawarkan data, interaksi sosial, perilaku ekonomi, dan refleksi psikologis—semuanya tanpa perlu Bab I sampai Bab V.
Mungkin sudah saatnya para dosen, penguji, dan pembimbing skripsi mulai bertanya:
“Apa yang benar-benar sedang terjadi di masyarakat?”
Dan jawaban paling jujur bisa jadi tidak datang dari jurnal ilmiah,
tetapi dari layar ponsel rakyat yang sedang mencoba peruntungan terakhir mereka malam ini.